Chapter 42 - Kota Bawah Tanah para Dewa Kuno 1

Posting Komentar
The Undetectable Strongest Job: Rule Breaker Novel Indonesia
Chapter 42 - Kota Bawah Tanah para Dewa Kuno 1

“Uhh … maaf.” Hikaru meminta maaf.

Sebelumnya, Hikaru berkata akan lari kalau ada bahaya yang mengancam jiwa setelah pengakuan jujur Lavia yang merasa agak takut. Tetapi baru saja Hikaru menyatakan akan membersihkan dungeon tanpa peduli apa. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyadari kata-katanya sendiri. Lavia bahkan tak bisa menahan tawa.

“Tidak apa-apa. Aku pun akan marah kalau aku ada di posisimu. Jujur aku ingin mengatakan kamu hebat, tapi aku tidak bisa melakukannya ... Aku lega kamu bicara terus terang.”

“Terima kasih sudah mengatakan itu.”

“Lagi pula, aku pikir kamu tidak akan membuat kesalahan. Kalau keadaan menjadi terlalu berbahaya, kamu bisa lupakan membersihkan dungeon dan keluar.”

“Ya, aku janji. Tidak ada gunanya membersihkan dungeon kalau kita mati.”

“Baiklah, ayo kita masuk.”

Mereka berdiri di depan mausoleum. Setelah mendengar pernyataan Hikaru, para petualang terdiam sesaat, lalu meledak dalam tawa. Mengatakan “semoga sukses”, mereka lebih dulu pergi dan memasuki dungeon di depan mereka.

Setelah Hikaru menggunakan peraturan sebagai alasan, staf guild mengatakan dia akan membiarkan mereka masuk, tetapi dia akan melaporkannya ke guild. Dia tampak kurang senang ketika dia menulis sesuatu.

Tidak apa, silakan laporkan saja aku. Aku juga tidak peduli, pikir Hikaru. Lagi pula, mereka tak lama lagi akan pergi dari kerajaan ini. Dengan dia dilaporkan malah memicu tekadnya semakin lebih.

“Ayo pergi”

Meskipun terlihat seperti gubuk kecil yang terbuat dari batu, itu jelas merupakan sebuah mausoleum dan berfungsi sebagai pintu masuk ke Kota Bawah Tanah para Dewa Kuno. Di dalamnya, ada rak-rak yang diletakkan di dekat dinding, dan tampaknya di situ pernah ada guci yang dijejerkan di atasnya dilihat dari jejak cap yang masih membekas. Kremasi adalah adat langka di dunia ini. Mungkin guci-guci itu diambil untuk diselidiki.

Sejarah penemuan dungeon itu sendiri sangat misterius. Itu karena monster tipe roh tingkat rendah mulai muncul di dekat jalan. Karena tidak ada pemukiman atau kuburan di dekatnya, para petualang pergi untuk menyelidiki, dan akhirnya menemukan mausoleum ini.

Satu set tangga sederhana dipasang di dekat lubang terbuka di tanah. Sebenarnya itu bukan “pintu masuk” ke dungeon. Pada saat ditemukan, itu hanyalah lubang. 200 meter di lereng yang landai adalah tempat Kota Bawah Tanah para Dewa Kuno itu berada.

Menurut Gafrasti N. Valves, seorang sejarawan, mausoleum itu tidak ada hubungannya dengan Kota Bawah Tanah. Itu karena monster undead yang muncul di Kota Bawah Tanah mengenakan pakaian dari dinasti Poelnxinia, dinasti yang runtuh 600 tahun silam, sementara itu mausoleum dibangun sekitar 100 tahun terakhir.

Dengan kata lain, Kota Bawah Tanah dibangun oleh orang-orang Poelnxinia, dan tubuh mereka berubah menjadi undead.

Monster berjenis undead menarik roh.

Disebutkan dalam buku itu bahwa mungkin monster undead menggali tanah ke atas selama bertahun-tahun dan akhirnya berhasil sampai ke mausoleum. Membayangkan tentang monster yang menggali tanah dengan gigih menggunakan tangan kosong selama ratusan tahun membuat Hikaru merinding.

Kebetulan, Poelnxinia adalah istilah lama untuk Ponsonia, meskipun kini sudah kuno. Setidaknya menurut pengetahuan Roland. Namun, hanya ingatan samar tentang sejarah dinasti yang runtuh.

“Perhatikan langkahmu.”

“Terima kasih.”

Hikaru mengambil langkah pertama ke tangga lalu mengambil tangan Lavia. Lampu-lampu sihir terpasang di dinding secara berkala, dan meskipun tidak memadai, visibilitasnya cukup terjamin. Mengaktifkan Group Obfuscation, mereka berdua menuju lebih jauh ke dalam.

Sudah mulai terasa dingin.

Hikaru merasakan suhu turun. Angin halus yang membawa udara dingin dari kedalaman bertiup melewati mereka. Dindingnya kini berubah menjadi bebatuan telanjang, basah dan licin. Suara tetesan air bisa terdengar di suatu tempat. Awalnya, dia pikir 200 meter itu cukup dangkal, tapi ternyata terasa begitu dalam. Mereka berdua diam. Tetapi jika ada awal, tentu saja ada akhir.

“Wow ... ini sangat besar.”

Tiba-tiba, lorong itu berakhir, dan mereka tiba di sebuah rumah batu. Ada lubang di dinding, tempat di mana lorong itu terhubung. Udara kering dan dingin masuk ke paru-paru mereka. Lantainya penuh lumpur, mungkin dari kaki orang-orang yang lewat sini. Selimut dan meja lusuh tergeletak.

 ....... Aaaaa …… Ooooooo ……………….

Mereka mendengar sesuatu seperti suara lolongan anjing dari kejauhan.

Hikaru dan Lavia saling memandang. Itu bukan anjing. Monster .... atau mungkin, manusia.

*Ngiiii~*
Pintu kayu itu berderit saat terbuka di luar di mana kegelapan pekat menyelubungi. Dari sinilah, awal dari penjelajahan ke dungeon.

Lavia membawa lampu dengan satu tangan, dan memegang tangan Hikaru dengan tangan yang satunya.

“Ayo.” Ajak Hikaru. Lavia mengangguk dan mereka berdua keluar dari rumah batu.

Keheningan menghinggapi mereka. Bahkan malam yang gelap dan berawan pun lebih cerah daripada dungeon. Seolah-olah dunia telah berakhir dan mereka adalah satu-satunya manusia yang masih tersisa.

Begitu mereka melangkah keluar, tanah tampak menanjak. Rupanya itu adalah jembatan kecil di atas saluran irigasi yang mengalir melewati rumah-rumah, meskipun sudah lama mengering. Mereka menyeberangi jembatan dan sampailah mereka ke jalan yang kering dan padat. Debu-debu beterbangan di tiap langkah, tetapi mudah untuk berjalan.

Cahaya lampu memberi penglihatan ke rumah selanjutnya, yang terbuat dari batu, dengan tangga lima langkah di depan yang mengarah ke pintu masuk. Melirik ke sekeliling dan tampak jelas bahwa setiap rumah memiliki desain yang sama.

Karena terbuat dari batu, bangunannya telah teruji oleh waktu, meskipun kebanyakan atapnya sudah lapuk dan runtuh. Di mana ada rumah dengan lantai dua atau tiga, lantai satu masih utuh. Sayangnya, banyak dari itu telah digeledah oleh para petualang – laci-laci terbalik, piring-piring porselen hancur berkeping-keping.


“... Ugh ... Bau busuk apa ini?”

Di kota bawah tanah yang begitu sunyi, Hikaru mengendus bau daging busuk.

“!”

“Ssh!”

Merasakan ada yang datang, Hikaru dengan cepat bereaksi dan menutup mulut Lavia. Seorang manusia muncul perlahan-lahan dari belakang rumah—atau yang dulunya manusia. Bola matanya hilang dan bibir bawahnya terkelupas, memperlihatkan gigi-gigi kekuningannya. Makhluk itu memiliki lengan kanan, tetapi lengan kirinya, dari siku ke bawah, nampak telah terkoyak. Alih-alih berjalan, itu tampak seperti tergopoh-gopoh. Makhluk itu tidak memperhatikan Hikaru dan Lavia.

Seorang Dead Citizen.

Dead Citizen adalah yang terlemah dari monster-monster di antara monster undead. Namun, itu masih bisa terbukti merepotkan. Dia bisa memanggil teman-teman mereka. Tempat ini adalah kota, jadi ada banyak teman di sekitarnya.

Obfuscation berfungsi dengan baik. Bahkan dengan adanya lampu yang kami bawa, ia tidak melihat kami. Bisa dibilang itu bukan karena dia tidak mempunyai mata. Sepertinya tidak mempunyai mata pun bukanlah masalah bagi monster undead. Apa ia mempunyai semacam skill Detection?

Hikaru berpikir dia bisa memunculkan Soul Board-nya karena bagaimanapun dia adalah mantan manusia, tetapi itu tidak berhasil. Life Detection sebenarnya tidak merasakan monster itu, hanya Mana Detection yang bisa. Dalam jarak 100 meter, dia merasakan dua belas monster undead, kemungkinan besar Dead Citizen.

Jumlah mereka cukup banyak. Aku yakin seorang petualang normal pun bisa menangani salah satunya, tapi akan makin sulit kalau monster itu memanggil teman-teman mereka.

Hikaru menarik Lavia dan mengitari punggung monster itu. Dia menarik Dagger Strength dan *Fuuun* menusukkannya ke jantung makhluk itu. Monster itu gemetar sebelum jatuh dengan suara gedebuk di tanah. Debu berterbangan.

“Aku ragu bisa membunuh mereka tanpa masalah ... adalah apa yang ingin kukatakan, tapi cairan ini menjijikkan....”

Cairan gelap menempel di bilah belatinya.

“Hikaru. Ini Dead Citizen, kan? Jadi jantungnya itu kelemahannya? Di buku pun aku tidak ingat membaca itu.”

“Mana-nya terkonsentrasi pada jantung, jadi aku tikam saja ke situ.”

Itulah yang ia lihat berkat Mana Detection-nya.

“Jadi kamu bisa lihat aliran mana. Mungkin kamu bisa menggunakan sihir.” Kata Lavia.

“Haha ... Semoga saja.”.

Aku yakin aku bisa kalau aku memberi poin pada statistikku yang berhubungan dengan sihir .... tapi aku tidak punya sisa poin lagi untuk digunakan. Bagaimanapun...

Hikaru punya dua pertanyaan dari pembunuhannya barusan.

Akankah peringkat jiwaku naik kalau aku membunuh monster undead?


Dia bisa mendapatkan jawabannya dengan cara membunuh beberapa Undead Citizen, meskipun dia merasa enggan. Menggunakan sihir jelas tidak mungkin. Itu hanya akan menarik perhatian. Apalagi bau busuknya juga tak tertahankan.

Pertanyaan kedua.

Kenapa ada monster di dekat pintu masuk ini?

Sejak ditemukan lima tahun lalu, ratusan – tidak, ribuan petualang telah memasuki dungeon ini. Kenyataannya sudah jelas dari rumah-rumah yang digeledah di dekat pintu masuk. Maka masuk akal kalau monster di area ini sudah dibantai. Namun demikian, Hikaru langsung bertemu satu Dead Citizen. Monster itu masih ada di area sekitar, mengenakan pakaian lusuh yang sudah usang.

Ah, masa bodo. Untuk saat ini, kami akan lanjut sampai lebih dalam.

Berkat Group Obfuscation, Dead Citizen tidak memperhatikan mereka. Ada juga monster-monster lain yang berkeliaran.

Skeleton Dead Citizen yang hanya berupa tulang belulang. Skeleton Armor Skeleton tingkat tinggi yang berpengalaman dalam pertempuran. Dia tidak memakai baju zirah asli, tetapi menggunakan mana untuk menguatkan tubuhnya. Skeleton MageSkeleton dengan staf (Tongkat Sihir) yang bisa menggunakan sihir. Itu bukan masalah lantaran Hikaru bisa mengalahkannya sebelum dia bisa melihatnya. Ada juga Ghost — monster roh yang tampak seperti kabut tebal.

Monster-monster ini bersembunyi di daerah sekitar sini. Dan sebenarnya jumlah mereka sangat banyak. Tiap lima menit mereka berjalan, mereka akan bertemu beberapa monster yang disebutkan di atas. Para monster itu biasanya berkelompok dalam dua atau tiga. 

Untuk saat ini, Hikaru memutuskan untuk membunuh semuanya satu persatu. Skeleton memiliki mana yang terkonsentrasi di tengkorak mereka jadi dia menikam mereka di kepala. Dia tidak yakin apakah serangan fisik akan bekerja pada Ghost, tetapi dia tetap mencoba. Ternyata itu bekerja dan rasanya seperti sedang memotong selembar kain.

Pertanyaan pertamanya terjawab setelah beberapa pembunuhan. Peringkat jiwanya naik. Meskipun itu terasa lebih lambat daripada saat dia membunuh Goblin atau Green Wolf. Sekitar lima kali lebih lambat. Tetapi karena tujuannya adalah untuk meningkatkan peringkat jiwanya, ia terus membunuh lebih banyak, asalkan dia tidak berjalan terlalu jauh.

Kemudian mereka mendengar sesuatu.

“.....Oi, masih ada lagi!”

“Aku tahu! Tahan mereka sebentar!”

“Agak sulit!”

“Jangan sampai kalah!!”

Suara-suara dan benturan baja berdenting menembus kegelapan. Di kejauhan, mereka bisa melihat cahaya. Lima petualang bertempur melawan sekelompok Skeleton.

“Kita harus bagaimana?! Tak ada habisnya! Mau seberapa banyak kita membunuhnya!”

“Sudah kubilang kau jangan pelit dengan air suci!”

“Mereka lemah kalau kita hadapi satu lawan satu, jadi teruskan saja!”


“Maafkan aku. Aku kehabisan mana ... ”

“Aah! Aku kena gigit! Sial, sakit sekaliiiii!”

Hikaru langsung tahu siapa mereka. Para petualang yang mereka temui di pintu masuk.

“Hah ...?”

Sepertinya mereka mengalami masalah.

“Kamu tidak terlihat senang, Hikaru.”

“Betulkah? Padahal aku sama seperti biasanya.”

Hikaru meraih tangan Lavia dan mereka mulai berjalan menuju menuju ke tempuran.


Related Posts

Posting Komentar