Chapter 50 - Kota Bawah Tanah Para Dewa Kuno 9

Posting Komentar
Chapter 50 - Kota Bawah Tanah Para Dewa Kuno 9

“Cih.”

Hikaru menarik lengan Lavia untuk membantunya berdiri.

“Bisa kamu lari?!”

“Y-ya!”

Mereka berlari keluar dari ruang harta karun. Hikaru bisa mendengar dinding roboh di belakang mereka.

“Yang tadi itu raksasa?! Bagaimana dia bisa mendekat tanpa kita sadari?” kata Lavia.

Hikaru sebenarnya ingin mengemukakan pertanyaan yang sama. Dia sangat ingin menyalahkan dirinya sendiri.

Kukira aku bisa merasakan kalau raksasa itu mendekat lewat suara gemuruh ... itu dan aku mengabaikan Mana Detection-ku saat aku menemukan revolver. Ini salahku karena raksasa mendekati kita!

Raksasa itu kemungkinan besar mendekat dengan hati-hati agar tak menimbulkan getaran. Jelas dia bergerak merayap. Hikaru semestinya bisa melihatnya dengan Mana Detection-nya.

“Lavia! Maksimalkan kecerahan lampunya!”

“Tapi, nanti undead-nya bagaimana?!”

“Mereka tidak ada di sekitar sini.”

Tak satu pun undead di sekitar terdeteksi oleh Mana Detection-nya. Mereka mungkin sudah lari karena raksasa itu.

Raksasa itu tahu di mana kita berada.

Hikaru hampir yakin tentang itu.

Itu sudah pasti ketika ia memutuskan untuk mendekati kami dengan merayap sebelum menyerang kami. Tapi kenapa? Apa karena aku menonaktifkan Group Obfuscation? Tidak, bukan itu.

Hikaru memegang tangan Lavia pada saat Skill-nya diaktifkan. Saat mereka keluar dari ruangan dan tak terlihat oleh raksasa, itu berarti Stealth-nya bekerja.

Bagaimana ia bisa tahu posisi kami?

Cahaya lampu sihir menerangi lorong-lorong kastil. Menoleh ke belakang, Hikaru melihat sosok raksasa yang telah menjebol dinding ruang harta karun.

“Oioi oioi......!”

Raksasa itu berjalan menyusuri lorong yang terlalu sempit untuk ukurannya, sambil menghancurkan pilar di sepanjang jalan tanpa henti.

*Gon, gon, gon, gon*

“Sebelah sini!”

“Kyaa!”

Mereka memasuki lorong sempit dengan berguling. Raksasa itu membabi-buta di tempat itu.

“Berdirilah, Lavia.”

“I-iya!”

Saling bergandengan tangan, mereka berlari. Mereka tak tahu harus ke mana mereka pergi. Tiba-tiba, Hikaru merasakan tatapan. Mata berwarna ungu mengintip ke dalam lorong di mana mereka saat ini.

“Uo.”

Sebuah lengan terentang. Berada lebih dari sepuluh meter jauhnya, Hikaru merasa lega. Namun lengan itu hampir mencapai mereka, molor seperti karet. Mereka nyaris tertangkap...

“Jangan mendekat!”

Hikaru mengarahkan revolver ke lengan raksasa itu dan langsung menarik pelatuknya. *Gyi~i~iin* Bunyi logam terdengar, bahkan tak ada suara bubuk mesiu. Jejak biru keluar dari moncongnya. Saat itu mengenai tangan raksasa, itu langsung terbungkus es dan terpental jauh.

“A-Apa-apaan ini ?! .... Ini bukan pistol?! Tampak seperti sihir...”

“Hikaru! Lihat!”

Lorong itu terlalu sempit untuk raksasa itu. Yang bisa dilakukan hanyalah memelototi mereka. Sementara Hikaru tidak bisa melihat semuanya dengan jelas, sekitar satu meter di atas kepala makhluk itu adalah benda bulat bola yang tampak seperti antena, *criik~ criik~ criik~* percikan kecil memancar.

“………”

Rasa merinding merambak di tulang punggung Hikaru. Ini bahaya. Benda itu sangat berbahaya. Aku tidak bisa membiarkannya menggunakan itu bagaimanapun caranya.

Dia menyiapkan revolver-nya. Tapi, bisakah dia mencapai sasarannya? Dia tidak bisa mendekat karena lengan makhluk itu ada di depannya.

Bagaimana caranya seorang amatir sepertiku bisa mengenai target? Ada satu hal yang bisa mengimbangi kurangnya pengalamanku.

Throwing tampaknya lebih bisa diandalkan untuk ini. Hikaru memanggil Soul Board-nya.

【Physical Strength】
..【Strength】1
..【Weapon Mastery】
….【Throwing】2

Dia menuangkan setiap poin yang dia dapatkan dari membunuh undead.

【Physical Strength】
..【Strength】1
..【Weapon Mastery】
….【Throwing】10
……【Heaven Shot】

Skill turunan bisa ia cek nanti. Hikaru mengarahkan revolver-nya sekali lagi, dan kali ini dia tahu di mana peluru akan mengenai, seolah-olah dia memiliki laser pointer di matanya. Dia menembakkan pistol ke bola di atas kepala raksasa itu. Kali ini cahaya abu-abu meledak. Sebuah batu tumbuh dari titik tumbukan dan menutupi kepala raksasa itu.

“...Tidak cukup, ya.”

Cahaya di atas kepalanya tidak padam. Cahaya keluar dari celah-celah batu, percikan api menyeruak seperti kompor gas yang rusak.

“Ke sini, Lavia!”

Hikaru meraih tangan Lavia dan berlari sekali lagi. Tepat setelah mereka berbelok di ujung belokan lorong, dia merasakan kilatan di belakang mereka.

“....?”

Dengan was-was dia menoleh ke belakang. Tapi tidak ada perubahan aneh.

“H-Hikaru ... lihat ...” kata Lavia, menunjuk jubahnya. Ujungnya meleleh – bau busuk melayang di udara.

Raksasa dengan serangan khusus yang menyebabkan pembusukan. Itu berarti semua undead di kota bawah tanah ini....

“...Apa makhluk itu yang menciptakan semua undead di sini?”

Sangat tidak masuk akal. Dengan sifat cahayanya, itu bisa ditembakkan ke mana saja. Sambil menahan dingin yang dia rasakan, mereka mulai berlari lagi. Hikaru bisa mendengar bumi bergemuruh tak jauh. Raksasa itu juga mengejar mereka.

“Hanya ada satu rute jalan keluar.... Pintu masuk ke kastil.”

Mereka akhirnya keluar dari bangunan dan tiba di area terbuka. Jembatan itu ada di depan. Seluruh tempat menjadi sunyi, Dead Knight dan Draugr tak terlihat. Undead yang sebelumnya sangat banyak jumlahnya sampai-sampai memenuhi tempat, kini mereka telah pergi.

“Apa mereka melarikan diri...?”

Jadi undead takut pada raksasa karena mengubah mereka menjadi seperti apa mereka ya?

“Bangs*t. Cepatnya...!”

Raksasa berhasil sampai ke area terbuka sambil menghancurkan kastil. Makhluk itu melihat sekeliling dan memperhatikan Hikaru dan Lavia berlari menuju jembatan.

“Gwoooooaaaaaahhhh!!!”

Telinga Hikaru terasa sakit seolah-olah ada jarum yang menusuk gendang telinganya. Deru raksasa mengguncang penjuru kastil. Dinding terdekat yang menerima dampak paling kuat, roboh. Kastil itu, yang telah berdiri selama enam ratus tahun di bawah tanah, mulai runtuh.

“Dia langsung menuju ke sini ... jadi dia tahu di mana kita berada.”

Mereka terus berlari.

“Hikaru ... aku ... akan tetap di sini ... kalau itu sihirku, mengeluarkan jumlah maksimal dari manaku mungkin ...” Kata Lavia, genggaman tangannya menguat. “Mungkin tidak cukup membunuhnya, tapi paling tidak aku bisa memperlambatnya. Sementara itu, kamu keluar dari sini! Jadi tinggalkan aku dan … aduh!”

Hikaru menyentil dahinya. Lavia cemberut padanya dengan mata berkaca-kaca.

“Aa – aa – kenapa kamu!?” serunya.

“Ditolak.”

“Eeh!!”

“Apa jadinya kalau kamu tidak membunuhnya? Lagian, kamu sudah menggunakan banyak mana beberapa waktu lalu. Apa jadinya setelah kamu menembakkan mantra yang kuat padanya?”

 “......”

“Berdiri saja tidak bisa, menyuruhku lari pula?”

Hikaru menghela nafas.

“Haah. Aku mengalami banyak masalah menyelamatkanmu, kau tahu? Mana bisa aku membiarkan dirimu membuang hidupmu dengan mudah.”

“Ta-ta-tapi, kalau tetap seperti ini, kita berdua akan mati!”

“Itu takkan terjadi.”

Mereka berhasil melewati jembatan. Raksasa itu berlari dengan kecepatan luar biasa.

“H-Hikaru!”

Hikaru berhenti, berbalik, dan mengarahkan revolver. Raksasa itu sedang menyeberangi jembatan, setiap langkah menyebabkannya berderit.

Dia menarik pelatuknya dua kali. Tembakan pertama adalah nyala oranye, yang kedua adalah kilat* yang menyilaukan, masing-masing tepat mengenai target.

(TLN: Ini warna putih)

Di jembatan.

Dengan pijakannya runtuh, raksasa itu terjun ke parit kering. Tanah bergetar bersamaan dengan gemuruh keras. Namun tiba-tiba menjadi hening tanpa suara.

“...A-Apa kamu membunuhnya?”

Lavia menyorotkan lampu pada puing-puing. Parit itu dalamnya tiga puluh meter. Bahkan jika raksasa itu melompat, menggapai ke atas sangat sulit. Mereka tidak bisa melihat tubuhnya karena kepulan debu.

“!”

Tiba-tiba, cahaya ungu menyala. Sebuah lengan melesat keluar dari bawah puing-puing dan menerbangkannya. Hikaru memiringkan lehernya untuk menghindari serpihan puing yang terbang ke arahnya.

“Raksasa? Lebih tepatnya seperti golem ya...”

Ketika debu mengendap, apa yang dilihat Hikaru bukanlah tubuh yang terbuat dari daging, tetapi hanya boneka dengan persendian. Pada permukaan tubuhnya yang terbuat dari batu ialah pola aneh dengan cahaya ungu yang menjalir melewatinya. Berbeda dengan dada tebalnya, pinggulnya tipis. Sementara wajahnya mirip seperti manusia, ia tidak memiliki hidung atau mulut, hanya mata yang bersinar. Dan di atas kepalanya ialah objek bola yang Hikaru gagal hancurkan — generator yang menciptakan undead.

“Ayo kita pergi, Hikaru ... mumpung ada waktu sebelum dia bisa keluar dari sana.”

“......”

“Hikaru? Jangan bilang kamu berpikir untuk mengalahkannya...”

Dia tersenyum pada Lavia untuk menenangkannya.

“Tidak apa-apa. Aku sedang memikirkannya.”


“Baik ... Ehh?!”

“Melihatnya tak menggunakan benda yang berkedip-kedip lagi itu berarti ia memiliki batas waktu (cooldown), atau bisa jadi tak bisa digunakan lagi. Dan sepertinya itu kurang efektif untuk serangan jarak jauh. Memanjat dari sana bisa saja, tapi itu akan memakan waktu.”

“Tapi kita tidak bisa mengalahkan sesuatu yang sebesar itu dari sini. Jadi kamu ingin aku menggunakan sihirku?”

“Seperti yang aku katakan, kalau kamu menggunakan mantramu dan kamu tidak bisa mengalahkannya, kita akan berada dalam masalah besar. Aku tidak punya stamina untuk membawamu kembali ke kota.”

“Maka .... satu-satunya pilihan kita adalah lari ...”

“Ah itu boleh juga, tapi dia mungkin masih bisa mengejar kita. Kalau itu sampai ke permukaan dan menuju ke kota, akan jadi malapetaka nantinya. Jadi aku ingin membunuhnya di sini.”

“Lantas bagaimana caranya?” tanya Lavia.

Ada hipotesis tertentu yang ingin ia uji. Apabila berhasil, raksasa itu tidak akan mengikuti mereka. Mungkin cukup pula untuk membunuh makhluk itu. Apabila gagal, tinggal lari saja. Walaupun, kota itu mungkin harus dikorbankan.

Related Posts

Posting Komentar